"Identitas Simalungun: Dari Persaudaraan Marga ke Ikatan Rasa?"



Oleh : Juan Daniel Saragih


Dari Rubrik KOLOM edisi 02 Okt-Nov 2007) [Majalah Tatap]
Oleh MARTIN LUKITO SINAGA

Sin Raya sin Purba, sin Dolog sin Panei, Naija pe lang mahua, asal ma marholong atei (Dari Raya dari Purba, dari Dolog dari Panei, Siapa saja tak berbeda, asal mau mengasihi).

Jansen Pardede dalam disertasinya di Universitas Mainz, Jerman, Die Batakchristen auf Nordsumatra und ihr Verhaeltnis zu den Muslimen,1975, mencatat bahwa marga adalah inti (religiositas) Batak. Menurut beliau, marga menunjukkan asal muasal teritorial seseorang, juga genealogi ataupun ikatan darah dan silsisah keluarganya.

Dalam ikatan marga tadi terbentuk suatu ritual, semisal dalam upacara pendirian tugu marga-marga. Bahkan, dalam ikatan marga, orang Batak juga bersumpah setia atau bersumpah serapah. Dalam jalur marga-marga pulalah penurunalihan cerita dan hukum adat terjadi. Bahkan, kedudukan sosial (dahulu) dan adat (sekarang) seseorang tergantung kepada marga yang ia emban.

Dulu dengan bermarga Sinaga saja, seseorang sudah akan bisa bertahan hidupnya sebab ia bisa minta dukungan ekonomi dari dongan sabutuhanya sesama Sinaga dan bisa minta pelayanan ini-itu dari borunya yang beristrikan marga Sinaga.

Kini dalam pesta adat, seorang Batak langsung menemukan tempat duduknya seturut dengan posisi marganya dalam skema Tungku nan Tiga (Dalihan na Tolu, di Simalungun skema itu bahkan disebut Tolu Sahundulan ‘Tiga Sekedudukan’), suatu kerangka kerja yang biasa dipakai di setiap pesta Batak.

Di Simalungun sendiri pernah disinggung (semisal dalam catatan J. Tideman, Simaloengoen: Het Land der Timoer-Bataks in zijn vroegere en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied can de Oostkust van Sumatra, Leiden, 1922) bahwa ikatan marga yang menyatukannya ialah Sisadapur: Sinaga, Saragih, Damanik, Purba, dan Girsang. Lalu dalam
perkembangannya, marga-marga semisal Silalahi, Sipayung, Sitopu, Lingga, Haloho pun diikutsertakan. Yang menarik, dalam perkembangan mutakhir, identitas Simalungun semakin diletakkan pada ahap Simalungun.

Dalam Seminar Kebudayaan Simalungun tahun 1964 disimpulkan bahwa halak Simalungun aima na marahap Simalungun ‘orang Simalungun ialah siapa saja yang punya ahap Simalungun’.

Ahap Simalungun

Apa artinya kalau ahap (rasa) menjadi pengikat Simalungun? Tampaknya catatan antropolog Clifford Geertz, dalam bukunya yang tersohor, The Interpreation of Culture, 1973, bisa sedikit membantu. Geertz mencatat bahwa bagi orang Jawa, tatanan simbolik amat penting. Pementasan
wayang, misalnya, adalah penyajian cerita yang penuh dengan makna tersirat dan penonton selama berjam-jam harus menangkap makna seturut dengan pencerapan dirinya sendiri.

Keramaian perang para kesatria dan kekonyolan para punakawan adalah simbol yang menunjuk ke dalam dunia batin manusia, dan masing-masing orang Jawa harus menemukan siapa dirinya setelah menonton wayang itu. Yang di luar (yang kasar dan konyol) sesungguhnya perlu ditangkap dan dipahami dari yang batiniah (yang halus dan yang di dalam) agar pesan dapat ditangkap. Di sini tentu saja perlu rasa.

Rasa, demikian lanjut Geertz, berdimensi dua: perasaan (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa adalah salah satu dari pancaindra orang Jawa, yaitu melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan merasakan. Namun, orang Jawa menjadikan “rasa” sebagai porosnya:
citarasa sebuah pisang adalah rasa-nya, suatu firasat adalah suatu rasa, kesakitan adalah suatu rasa, dan hasrat adalah juga sebentuk rasa.

Sebagai makna, rasa diterapkan pada kata-kata dalam suatu surat, bahkan juga dalam suatu percakapan; makanya orang Jawa bisa bicara lama tanpa perlu mengeksplisitkan maksudnya sebab yang perlu ialah merasakan pesannya. Gerak tubuh pun dapat dirasakan pesannya, tak perlu terang-terangan melotot atau mengepal tangan kalau sedang marah.

Ahap Simalungun tentu tak perlu persis seperti rasa dalam diri orang Jawa walau ada singgungannya. Ahap Simalungun pertama-tama adalah sinyal-sinyal emosi yang tertangkap di setiap percakapan ataupun perjumpaan.

Seorang Simalungun akan mudah merasakan apakah lawan bicara punya rasa Simalungun dari cara bertuturnya dan dari gerak-geriknya. Selalu ada yang tidak langsung di setiap kata yang terucap, dan setengah mati rasanya bagi orang Simalungun untuk menaruh tanda seru di akhir kalimatnya.


Setengah mati pula orang Simalungun dalam mengungkapkan diri dalam gesture tubuhnya. Percakapan Simalungun ialah percakapan yang memohon dengan halus, bukan menyuruh dengan tegas. Ada kehalusan yang kompleks dalam bertuturnya, ada pula pengendapan yang bertakik-takik dalam batinnya. Ekspresi tubuh orang Simalungun adalah ekspresi yang selalu mau menutup apa yang sempat terungkap.

Hampir-hampir ia tidak beringsut dari duduknya. Dalam peribahasa Simalungun dikatakan bahwa setiap orang Simalungun punya tujuh lapis pakaian, sekalipun ia tampak bertelanjang dada.

Ahap juga adalah sebentuk penghayatan (mangkagoluhkan ‘menghidupi’) serat-serat kultur Simalungun, yang prinsipnya ialah Habonaron do Bona, Sapangambei menoktok hitei. Artinya kurang lebih: Pangkal hidup ialah bersikap benar dan adil, sambil bersama-sama membangun jembatan.

Setiap orang akan menjadi Simalungun kalau ia punya prinsip tadi, namun diterapkan tidak dalam semangat eksklusif, tetapi inklusif sebab yang terpenting ialah selalu ada penghubung yang terbangun antara satu orang dengan yang lain.

Partuha Maujana Simalungun

Suasana ahap ini mewarnai pertemuan bersama komunitas pemangku adat dan para tua-tua nan bijak Simalungun (Partuha Maujana Simalungun). Pada 12 Agustus 2007 lalu, berkumpullah puluhan warga Simalungun dan merancang sekaligus meneguhkan Program Kerja Partuha Maujana Simalungun 2005-2010 (yang diusulkan oleh Ketua Darwan Madja Purba dan Sekjen Syamsudin Manan Sinaga). Dan rupanya, yang dikerjakan terkait dengan jatidiri Simalungun.

Pada pertemuan itu ditegaskan bahwa jatidiri Simalungun berarti “kita” yang ber-ahap Simalungun, bukan lagi “kami” yang bermarga Sisadapur. Maka, kalau kini Partuha Maujana Simalungun hendak menyusun program kerja, maka ia pun bersuasana terbuka dan tidak parokial.

Tampaklah identitas baru: karena kesimalungunan tidak terutama terletak pada marga-marga, namun dalam ahap, maka selanjutnya–ini yang rupanya menjadi langkah lanjutan yang penting—karsa (program kerja) haruslah pula menjadi bagian jatidirinya.

Barangkali makna etnisitas (juga makna Kebatakan) tergambar di sini, bukan tentang yang surut di belakang, bukan tentang yang beku dan primordial, tetapi tentang kebersamaan yang terbuka dan, akhirnya, tentang strategi kerja di hadapan keseharian hidup kita semua. (Sumber : https://www.facebook.com/notes/juan-daniel-saragih/identitas-simalungun-dari-persaudaraan-marga-ke-ikatan-rasa/397610649317).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama