Ibadah "Inang Ruth" GKPS Jambi. (FB) |
Jambi-Ibadah Kumpulan "Inang Ruth" GKPS Jambi dilaksanakan di Rumah Keluarga Ny St S Saragih/ Br Purba di Perum Liverpool, Paal Merah Kota Jambi, Rabu (4/3/2020).
Ibadah dibawakan oleh Pendeta GKPS Resort Jambi, Pdt Riando Tondang STh. Sukacita dan ucapan syukur tampak pada Ibadah "Inang Ruth" GKPS Jambi ini.
Baca Juga: Aksi Kasih BDS GKPS Jambi Pada Ibadah Minggu Namabalu, Lansia dan Anak Tading Maetek
Baca Juga: Aksi Kasih BDS GKPS Jambi Pada Ibadah Minggu Namabalu, Lansia dan Anak Tading Maetek
St Friston R Sinaga SPd |
Ibadah Kumpulan "Inang Ruth" GKPS Jambi dilaksanakan di Rumah Keluarga Ny St S Saragih/ Br Purba di Perum Liverpool, Paal Merah Kota Jambi, Rabu (4/3/2020). (Foto FB) |
Penghormatan Kepada Para Janda (1 Timotius 5:3-16)
Allah secara konsisten memperhatikan para janda (juga anak yatim). Ia membela hak anak yatim dan janda (Ul 10:18a). TUHAN adalah Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda (Mzm 68:6).
Ia akan mengutuk orang yang menindas para janda (Ul 27:19). Alkitab mengajarkan bahwa ibadah yang murni dan tak bercacat di hadapan Allah adalah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yak 1:27).
Dengan semangat untuk meneladani Allah, setiap gereja lokal juga dipanggil untuk mengasihi para janda. Itulah yang dilakukan sejak gereja mula-mula (Kis 6:1-7). Itulah juga yang dinasihatkan oleh Paulus dalam 1 Timotius 5:3-16. Nasihat ini bukanlah nasihat yang sepele, seperti tersirat dari porsi pembahasan yang cukup panjang di bagian ini (14 ayat).
Bagaimana cara mengasihi mereka? Apakah semua orang yang berstatus janda patut mendapatkan bentuk penghormatan yang sama?
Apakah arti “menghormati?” di ayat 3?
Kata “menghormati” (timaō) memiliki arti yang luas: dari sikap yang menghargai sampai bantuan secara materi (Kis 28:10). Obyek penghormatan pun bermacam-macam: semua orang (1 Pet 2:17a), orang tua (Mat 15:4), raja (1 Pet 2:17c), Kristus (Yoh 5:23), atau Allah (Mat 15:8). Untuk mengetahui makna yang sebenarnya, kita harus memperhatikan konteks pemunculan kata timaō.
Sesuai konteks 1 Timotius 5:3-16, kita sebaiknya memahami kata ini dalam arti memberikan bantuan secara material. Teks ini membicarakan tentang kesusahan para janda secara material (bdk. 5:4-5, 16). Kata “menghormati” (5:3) disejajarkan dengan “memelihara” (5:8, lit. “menyediakan”). Di samping itu, penghormatan kepada para penatua di perikop selanjutnya juga dikaitkan dengan upah (5:17-18).
Konsep tentang penghormatan yang dihubungkan dengan bantuan secara material bukanlah sesuatu yang asing bagi jemaat mula-mula, terutama bagi mereka yang berasal dari budaya Yahudi. Perintah ke-5 dalam Dasa Titah (Kel 20:1-17) – yaitu “menghormati ayah dan ibu” – sejak lama dipahami oleh orang-orang Yahudi secara luas.
Perintah ini menuntut setiap orang Yahudi untuk memperhatikan dan memelihara orang tua mereka sampai mereka meninggal dunia. Orang-orang Yahudi dituntut untuk menyediakan keperluan orang tua mereka.
Salah satu contoh yang paling jelas adalah perdebatan Tuhan Yesus dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat di Matius 15:3-6. Tuhan Yesus menegur kemunafikan mereka karena mereka telah mempersembahkan kepada Allah uang yang seharusnya untuk pemeliharaan orang tua mereka. Pemberian bantuan untuk orang tua ini oleh Tuhan Yesus dikaitkan dengan perintah untuk menghormati ayah dan ibu.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa penghormatan kepada para janda lebih daripada sekadar sikap yang ramah dan menghargai. Penghormatan ini menuntut keterlibatan secara finansial atau material. Dengan kata lain, penghormatan ini berkaitan dengan tugas diakonia yang harus dilakukan oleh gereja Tuhan.
Siapakah yang layak untuk dihormati?
Yang Paulus maksud dengan “janda” (chēra) di teks ini bukan hanya secara status sosial. Walaupun sebagian orang secara sosial berstatus sebagai janda, namun mereka belum tentu sungguh-sungguh janda dalam arti yang dipahami oleh Paulus (bdk. 5:6-7, 11-15).
Terhadap golongan ini, gereja tetap perlu memberi perhatian, tetapi bukan secara finansial atau material. Mereka tetap memerlukan nasihat, perhatian, bimbingan, dan teguran dari gereja, tetapi bantuan diakonia harus diberikan pada kelompok janda yang benar-benar janda (ontōs chēras, 5:3, 5).
Siapakah yang dimaksud dengan “benar-benar janda” (penerjemah NIV mencoba menerangkan ungkapan ini melalui terjemahan “yang sungguh-sungguh membutuhkan”)? Ada beberapa kriteria yang diberikan Paulus dalam bagian ini.
Tidak memiliki keluarga Kristen sebagai penyokong (ayat 4, 16)
Nasihat Paulus terhadap orang-orang Kristen untuk memperhatikan keluarga mereka yang benar-benar janda menyiratkan bahwa para janda yang berhak mendapatkan bantuan dari gereja adalah mereka yang sudah tidak memiliki anak atau cucu yang bisa menyokong kehidupan mereka.
Jika para janda itu masih mempunyai keturunan yang Kristen dan mampu menolong mereka, maka tanggung-jawab utama terletak pada anggota keluarga tersebut (ayat 4 “hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti”).
Prinsip yang sama berlaku untuk perempuan Kristen yang memiliki tanggungan janda di rumahnya (5:16). Terjemahan “seorang laki-laki atau perempuan yang percaya” (LAI:TB) dalam salinan yang tua dan bisa dipercaya tertulis “seorang perempuan yang percaya” (lihat mayoritas versi Inggris).
Kendati ia seorang perempuan, selama ia adalah orang Kristen dan mampu menyokong kehidupan orang lain, maka ia bertanggung-jawab untuk memelihara para janda yang berada di bawah naungannya. Contoh yang paling jelas di dalam Alkitab adalah Dorkas yang membantu para janda (Kis 9:36-43).
Apakah hal ini berarti bahwa gereja sekadar berpangku tangan? Sama sekali tidak! Anggota keluarga yang Kristen termasuk dalam anggota gereja.
Tatkala mereka menunaikan tugas mereka, hal itu berarti bahwa mereka juga melakukannya atas nama gereja. Di samping itu, gereja tetap berperan dalam menasihati dan mendorong anggota keluarga yang Kristen untuk melakukan peranan mereka. Ini adalah sebuah proses pembelajaran bagi anggota keluarga yang Kristen (manthanetōsan, LAI:TB “belajar”).
Paulus tidak lupa menerangkan beberapa alasan mengapa anggota keluarga yang Kristen seyogyanya melakukan hal tersebut. Pertama, bukti kesalehan (5:4, 8). Terjemahan LAI:TB “berbakti” kurang begitu tepat.
Kata eusebein seharusnya diterjemahkan “untuk melakukan/menunjukkan kesalehan” (KJV/ASV/NASB/ESV). Melalui pilihan kosa kata ini Paulus ingin menegaskan bahwa keagamaan atau kerohanian bukan hanya dibatasi oleh gedung gereja dan dalam konteks persekutuan ibadah, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Kerohanian sejati terlihat di dalam keluarga.
Sebelumnya Paulus juga sudah mengajarkan prinsip ini. Salah satu syarat menjadi penatua dan diaken juga berhubungan dengan kesalehan di rumah tangga (3:4-5, 11-12).
Kegagalan untuk melaksanakan tugas ini bukan hanya menunjukkan bahwa seseorang tidak saleh. Paulus bahkan menyamakannya dengan murtad (lit. “menyangkali iman”) dan dipandang lebih buruk daripada orang-orang yang tidak mengenal Allah (5:8).
Penilaian Paulus di teks ini tidak berlebihan, karena beberapa penulis kafir pada masa Yunani-Romawi memang telah mengajarkan bahwa anak-anak secara moral dan legal terikat untuk memelihara orang tua mereka.
Jika seorang yang mengaku Kristen tetapi mengabaikan orang tuanya, maka pada dasarnya ia telah menyangkali imannya di depan umum dan membawa cela bagi kekristenan.
Kedua, wujud balas budi (5:4). Kata kerja “belajar” (manthanetōsan) juga memayungi kata “membalas budi” (amoibas apodidonai). Kata amoibē sebenarnya bisa mengandung arti negatif (membalas kejahatan) atau positif (membalas budi), namun dalam konteks 1 Timotius 5:4 jelas arti kedua yang dimaksud. Bentuk jamak amoibas menyiratkan beragam kebaikan yang sudah diberikan oleh orang tua. Memelihara orang tua pada masa tua mereka hanyalah salah satu cara membalas keragaman budi mereka.
Alasan ini mungkin terkesan sedikit sekuler (hanya masalah balas budi). Tetapi, Paulus tidak ingin melepaskan hal tersebut dari kedaulatan Allah. Belajar untuk menunjukkan kesalehan dan belajar untuk membalas budi sama-sama berkenan di mata Allah. Karena itu, ia menambahkan “itulah yang berkenan kepada Allah”.
Menyandarkan diri hanya pada Allah (ayat 5)
Ungkapan “benar-benar janda” muncul kembali di ayat ini, dan diberi beberapa keterangan. Yang benar-benar janda adalah “yang ditinggalkan seorang diri”.
Artinya, ia tidak memiliki sanak-saudara atau orang lain yang menyokong dia. Di tengah budaya kuno yang kurang menghargai dan memberi kesempatan bagi para wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, kesendirian seorang janda hampir selalu identik dengan kemiskinan, ketidakadaan perlindungan, dan penindasan oleh orang lain.
Status sosial ini sejajar dengan status spiritualnya. Ia menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat pengharapan. Dalam teks Yunani, kata ēlpiken (lit. “berharap”) berbentuk perfek, sehingga menyiratkan tindakan yang dilakukan dahulu tetapi masih membawa akibat sampai sekarang.
Dengan kata lain, mereka yang benar-benar janda telah meletakkan pengharapan mereka pada Allah, dan sejak saat itu tidak pernah menyangkalinya. Sikap ini sangat berbeda dengan beberapa janda yang akhirnya menyangkali komitmen mereka kepada Kristus (5:11-12).
Pengharapan kepada Allah bukan hanya perasaan yakin semata-mata. Pengharapan ini juga bukan sekadar pengetahuan intelektual tentang kekuasaan, kedaulatan, dan kesetiaan Allah. Pengharapan terwujud melalui disiplin rohani.
Para janda yang benar-benar janda bertekun dalam doa dan permohonan siang dan malam. Kata kerja prosmenei (LAI:TB “bertekun”) yang berbentuk present tense dan disertai keterangan nyktos kai hēmeras (LAI:TB “siang dan malam”) menyiratkan konsistensi dan intensitas.
Penggunaan kata “dalam permohonan-permohonan dan doa-doa” (tais deēsesin kai tais proseuchais) menunjukkan bahwa kedekatannya dengan Allah tidak hanya dihiasi oleh permohonan-permohonan bagi kebutuhan hidupnya. Ia berdoa kepada Allah (baca: membangun relasi).
Memiliki keteladan hidup (ayat 6-7, 9-15)
Bagaimana seseorang telah mengisi kehidupannya akan diperhitungkan pada saat akhir hidup orang tersebut. Demikian pula dengan mereka yang benar-benar janda.
Mereka sudah membuktikan kualitas hidup mereka yang baik, karena itu patut untuk menerima perhatian. Mereka tidak hidup di dalam kemewahan dan pesta-pora (5:6-7). Mereka setia kepada suaminya (5:9 “yang hanya satu kali bersuami”), walaupun menikah kembali sesudah kematian suami juga bukan merupakan dosa (bdk. 5:14).
Mereka menunjukkan kebaikan dan kerendahhatian (5:10). Mereka tidak membiarkan hawa nafsu dan tuntutan kebutuhan hidup membuat mereka menikah dengan orang yang tidak percaya, sehingga dengan demikian meninggalkan komitmen mereka kepada Kristus (5:11-12).
Mereka tidak mengisi waktu luang mereka dengan bermalas-malasan dan menyebarkan gosip (5:13). Terhadap mereka inilah gereja berhutang tanggung-jawab. Apa yang mereka tabur selama masa muda mereka akan menjadi tuaian mereka di masa tua melalui tangan gereja. Soli Deo Gloria. (Berbagaisumber/ Asenk Lee Saragih)
Posting Komentar