Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga/Istri |
Baru saja Sinode Bolon ke 42 GKPS berakhir, dan boleh dikatakan inilah ujung pemilihan para pemimpin GKPS. Mulai dari pemilihan kepemimpinan di jemaat, lalu resort, lalu para syamas dan sintua, juga seksi-seksi, sampai ke ketua sektor; dan peristiwa yang besar ialah memilih Eporus dan Sekjen GKPS. Segera kita bertanya: bagaimanakah mereka akan memimpin GKPS ini ke depan, dan dengan karakter serta suasana (kultur organisasi) apa? Pertanyaan ini serius karena tahun 2015-2020 adalah tahun kerja meningkatkan kualitas SDM dan kepemimpinan, yang menjadi basis kita "gabe gareja siboan pasu-pasu janah sari". Maka ada 2 pokok pikiran yang kita perlu perdalam:
1. Apakah kekuatan tersembunyi orang Kristen-Simalungun di masa lalunya dalam hal kepemimpinan, yang masih relevan untuk kehidupan gereja kini?
Jawaban jelasnya terletak pada: munculnya 12 pemimpin lokal yang melahirkan gerakan kultural "Komite Na Ra Marpodah", para pemula Pekabaran Injil dengan "Kongsi Laita"-nya itu, serta gerakan studi "Parguru Saksi ni Kristus" dengan hasil para "pangarah"-nya yang masif turun ke desa-desa. Jadi suatu model kepemimpinan PARTISIPATIF-lah yang menjadi kekuatan awal GKPS.
Dan ketika GKPS menjadi lembaga mandiri -yang semula hanya punya 5 pendeta untuk 16.000 jemaat di tahun 1949-, ia tidak pernah menetapkan adanya "Pucuk Pimpinan", tapi malah model kepemimpinan "Dwi-Tunggal" yang dijalani dalam spirit kolegialitas. Dengan kata lain, yang hendak kita perkokoh di GKPS ini bukan status atau jabatan para pemimpin itu, tetapi gaya partisipatif dan kolegialitas para pemimpin itu!
Maka jelaslah bahwa kepemimpinan yang benar di GKPS haruslah bercorak transformatif, bukan transaksional. Kalau disimpulkan bahwa kepemimpinan ialah kemampuan merumuskan visi komunitas serta menggerakkan orang mencapai tujuan itu, sambil memberi inspirasi dan menciptakan iklim dan struktur yang kondusif untuk mewujudkannya, maka memang di sini pemimpin lebih mengambil posisi sebagai fasilitator yang memberdayakan anggotanya agar berperan aktif.
Gibbs dalam bukunya Kepemimpinan Gereja Masa Mendatang, mengatakan bahwa kepemimpinan itu lebih tentang seni menghubungkan, bukan cara mengendalikan. Kepemimpinan ialah mengenai mempersatukan sejumlah orang demi tujuan tertentu dengan sinergi yang kreatif. Kalau demikian maka para pemimpinnya selalu siap merangkul perubahan, dan bersama-sama bekerja mencapai transformasi.
Makanya tepat sekali kalau model pemimpin kita itu mesti berkarakter "hobas" (cekatan melayani), dan bukan seperti Tuan bertengger di kursi sebelah atas. Dengan karakter "hobas" tadi para pemimpin pun tidak mencari tempat "di atas", tetapi "di antara". Dan kalaupun ada kecakapan atau kompetensi yang khas yang dimiliki para pemimpin di gereja tersebut, maka ia bekerja dengan cara "coaching" (pelatih), agar semua anggota jemaat diberdayakan menjadi subjek pelayanan, dan secara bertahap bisa menambah kecakapannya.
Lalu, 2. iklim seperti apakah yang perlu lagi dibangun, yang akan membuat GKPS sintas/"survive" di perjalanannya, dan siap bertumbuh?
Jelas pulalah kita tahu bahwa iklim di awal pertumbuhan GKPS penuh dengan suasana bahu-membahu, dan seorang datang bekerjasama dengan terlebih dulu "memenangkan hati rekannya" (MARPANGANJU), lalu selanjutnya bersama-sama menuntaskan karya. Dan kita melakukan "panganjuan" umumnya demi Hasadaon (baca: kebersamaan) GKPS.
Maka selanjutnya iklim ini perlu diberi kualitas baru: bukan bersama-sama "sada" sekadar menyalakan sentimen "sombuh sihol", tetapi kebersamaan yang terjadi dengan mengembangkan komunikasi yang semakin mendalam, dimana suka-duka rekan kerja dapat dibagi-bagikan. Iklim dengan kualitas baru itu, yang positip dan yang mendalam itu, disebut sebagai "sipartamuei”: suatu “sikap seperti tuan rumah yang senang menjamu/menerima tamu”. Dalam percakapan publik hal ini disebut praktik hospitalitas atau kesanggrahan. Setiap jemaat menjadi sipartamuei atau mengembangkan tindakan hospitalitas agar semua orang merasa diterima dan dihargai serta mendapat perlakuan yang baik.
Kalau jemaat-jemaat GKPS dipimpin ke arah iklim itu, maka kita bisa selanjutnya lebih terlatih lagi menghadapi konteks sosial politik nyata yang serius (khususnya di daerah Simalungun) yang ditandai dengan masuknya "orang asing" atau orang luar ke tanah Simalungun. Telah panjang sejarah para migran atau pencari kerja dan bahkan "kuli kontrak" bermukim di Simalungun. Warga Simalungun dan GKPS memang telah menghadapi itu semua tidak dengan konflik, walau ada kecenderungan tarik diri dan mengembangkan sikap malang (serba enggan) . Syukurlah, melalui para pemimpin awal GKPS, telah pula dipacu kebangkitan diri dan peningkatkan kompetensi di era modern kala itu (marmalu).
Di era kemajemukan dan pergerakan demografis yang sedemikian tersebarnya saat ini, maka tidak bisa lagi kita terus-menerus bicara sentimen "si pungkah huta", -sebab telah bermukim dan hidup saling berbagi di Simalungun orang-orang dengan berbagai latar belakang. Untung kita telah memacu diri (marmalu), dan untung bahwa identitas Simalungun kita bukan terutama terletak pada marga atau darah, tetap pada "ahap" atau perasaan mendalam yang menjadi suasana khas batin orang Simalungun.
Dengan sikap "sipartamuei" kita memilih menerima berbagai macam orang, tidak mengembangkan kecurigaan tetapi malah menantikan "kejutan" yang akan datang dari mereka. Kategori "kami" perlu diubah dengan kategori "kita": secepatnya kita mencari yang positip pada orang lain yang sungguh baik untuk kehidupan bersama. Kita pun lantas menyediakan ruang bagi perbedaan di dalam rumah atau pun masyarakat kita tersebut, dan menerima sesama apa adanya.
Pada konteks yang lebih luas, ada jemaat GKPS yang telah dilihat "orang lain" sebagai RUMAH atau jemaat tempat "pertukaran berkat", yaitu melalui berkembangnya CUM Talenta di berbagai wilayah. Di rumah seperti itu, orang lain mulai betah, karena ada yang menyambutnya dengan spirit "sipartamuei", tidak saja menerimanya apa adanya, tapi malah melanjut mengajaknya berkarya bersama, demi kesejateraan ekonomi bersama, dalam kepedulian ("sari").
***
Jadi, daya hidup seperti inilah yang GKPS perlukan ke depan, yang akan berdayaguna untuk persekutuannya, dan juga untuk masyarakat luas. Para pemimpinnya berada "di antara', dan bekerja memfasilitasi perubahan, dan dipenuhi sikap "hobas".
Lalu iklim kebersamaannya penuh dengan sikap kesanggrahan ("sipartamuei"), yang membuat orang lain diterima, dan diajak melangkah, saling mendalami suka-duka, tapi juga berproses mengembangkan kesejahteraan hidup sosial-ekonomi bersama. Inilah resep kerja di tahun 2015-2020 kepada para pemimpin GKPS, juga kepada Ephorus dan Sekjen kita yang baru! (TULISAN DI AB JULI 2015; siapa tahu ada yang terlewat dan tidak berlangganan majalah AB-GKPS...semoga memberi inspirasi...tabi ma. Pdt Martin L Sinaga)
Posting Komentar