Pdt Defri Judika Purba STh Dan Istri. FT IST FB. |
Udara yang dingin dan hujan yang
turun tidak menghalangi usaha kami untuk mengunjungi jemaat semalam.
Selain sudah diprogramkan seminggu yang lewat, kunjungan ini juga
merupakan usaha kami bersama untuk meningkatkan pelayanan di awal
periode ini. Istilah yang kami pakai: “pelayanan persneling empat”. Jam
sudah menunjukkan angka 18.40, ketika kami keluar dari gereja usai
sermon. Udara dingin langsung menyerbu tubuh kami semua.
Di luar gereja, pohon-pohon kopi bergoyang ditiup angin. Mereka seolah menari-nari menikmati dirus hujan yang membasahi bunganya yang sudah mulai mekar. Bunga kopi yang berwarna putih itu pun menyebarkan semarak bau yang sangat harum.
Sungguh, hujan yang datang hampir sepanjang hari
itu menimbulkan pekik sukacita di hati semua orang di kampung kami ini.
bagaimana tidak, sudah hampir sebulan penuh kampung ini dilanda kemarau.
Tanah kering. Jalan berdebu. Burung-burung pun malas bernyanyi.
Semalam, ketika hujan turun, burung-burung pun beterbangan lincah kesana
kemari. Ada burung batu, murai, gereja dll. ekor mereka
bergoyang-goyang seksi mengibaskan air hujan yang menerpa bulu-bulunya.
Kami segera menuju rumah salah seorang jemaat. rumah itu kelihatan sunyi dan sepi. Lampu penerangan di teras belum dinyalakan. Mungkin pemilik rumah sedang menyelimuti dirinya dari serangan udara dingin. Setelah mengetuk pintu, tuan rumah pun membuka pintu. Dengan wajah yang agak terkejut, beliau mempersilahkan kami masuk. Tempat duduk pun langsung disiapkan, tikar plastik merek kuda terbang. Ternyata suami dari ibu tersebut, sudah berangkat ke kedai. Beliau lupa memberitahukan ada kunjungan dari gereja. Setelah ditelepon dan kami menunggu sekitar 10 menit, beliau pun datang.
Kami pun segera memulai acara singkat. Dimulai dari pengantar jemaat yang memberitahukan apa maksud tujuan kedatangan kami. Beliau berkata; tujuan kedatangan kami, tidak lain dan tidak bukan hanya ingin berdoa bersama keluarga tersebut, agar kiranya apa yang mereka harapkan dan doakan dikabulkan Tuhan. “ase mardakka ma namin abara ni inang on”.
Memang, salah satu pergumulan keluarga yang
kami kunjungi ini karena mereka belum dikarunia berkat anak oleh Tuhan.
Mereka sudah berumah tangga hampir enam tahun. Segala usaha sudah mereka
kerjakan. Tapi sampai sekarang apa yang mereka rindukan belum mereka
terima.
Usaha terakhir yang mereka lakukan yaitu pergi check up ke
penang. Kebetulan kaka dari ibu tersebut juga belum memiliki momongan.
Berdua, mereka pergi ke penang beberapa bulan yang silam. Sebelum
berangkat mereka sudah merencanakan apa yang akan mereka lakukan, yaitu
percobaan bayi tabung. Suami masing-masing sudah setuju. Tapi untuk yang
pertama, satu orang saja, mengingat biaya yang sangat mahal.
Singkat
cerita, setelah melewati berbagai proses medical check up di penang,
hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Akhirnya mereka pulang ke tanah
air. Biaya yang mereka keluarkan lebih 70 juta, lain biaya apartemen,
transport, dan makan. Itulah satu usaha yang dibuat keluarga tersebut
untuk doa mereka.
Usaha yang lain, kalau diceritakan ke belakang, sudah
mereka lakukan semuanya. Mulai dari tradisional (pergi ke pusuk buhit,
ziarah, urut, adopsi ) tapi semuanya nihil. Tidak ada hasil. Pernah
mereka bercerita, ada petuah dari orang tua harus pergi berziarah ke
makam leluhur, mereka pun pergi kesana, walau untuk menuju kuburan
tersebut mereka hampir tersesat karena terletak di perkebunan kayu
putih. urut tradisional membuat mereka bingung.
Satu menyatakan turun
peranakan yang lain naik peranakan. Mereka pergi ke dokter spesialis
yang terkenal di kota siantar, dua dokter spesialis yang mereka kunjungi
sama-sama berpendapat mereka berdua sehat-sehat saja, tidak ada yang
kurang. Hasil laboratorium prodia menunjukkan tidak ada hal yang
mengkwatirkan.
Dokter hanya berpesan agar mereka sabar menunggu dari
Tuhan. Tunggu punya tunggu, apa yang mereka harapkan belum juga mereka
terima. Mereka seolah berlomba dengan waktu. waktu yang berjalan terus
kadang telah meruntuhkan benteng iman mereka akan janji Tuhan. Mereka
mempertanyakan keadilan dan kebaikanNya. Kadang muncul pertanyaan
dialektis di dalam hati mereka. Mereka selama ini yang aktif ke gereja
(si ibu aktif di seksi wanita dan jadi dirijen; suami warga gereja yang
baik); tapi kenapa sudah sangat lama doa mereka belum dikabulkan.
BERAPA
LAMA LAGIKAH TUHAN? Si ibu yang sudah mencapai usia 38 tahun semakin
bertambah-tambah kekwatirannya dan kami bisa memahami itu. Bayangan
kalau meninggal tapi tidak ada yang meneruskan generasi dengan jujur
beliau katakan membuat kekwatirannya semakin bertambah.
Waktu juga perlahan-lahan membunuh rasa percaya diri mereka. Sang suami memilih tidak mau lagi ke pesta kalau tidak yang penting-penting. Sering kalau berjumpa di pesta, ditanya keluarga atau teman lama sudah berapa anak, beliau tidak dapat menetralkan suasana hatinya yang tiba-tiba berubah. Setelah semua usaha dilakukan, saat ini mereka sampai pada titik: PASRAH. Mereka tidak tahu harus berbuat apa lagi. usaha mereka sudah sampai pada titik yang maksimal. tidak ada lagi kekuatan untuk melanjutkan. emosi sudah terkuras habis, begitu juga biaya. Mereka betul-betul sudah pasrah.
Dalam bayangan pergumulan iman yang berat itulah kami datang. Kami tidak membawa harapan palsu atau mengobral nasihat kosong yang semu. Yang kami bawa hanya diri kami sebagai pesan, mereka tidak sendiri melewati pergumulan yang demikian beratnya. Kami juga membawa doa semoga kiranya Tuhan yang empunya segala dunia ini berkenan mengabulkan doa kami. Simbol dari doa, kami membawa beras yang dimasukkan di tandok. (sebuah tempat beras dari anyaman daun pandan).
Dengan beras (boras tenger) yang kami letakkan di kepala mereka berdua,
itulah simbol keraslah kiranya semangat mereka dalam menunggu janji
Tuhan, keraslah pengharapan mereka, keraslah perjuangan mereka. Ketika
kami yang hadir (ada 4 orang) meletakkan beras tersebut di kepala
mereka, si ibu tidak dapat menahan tangisnya. Air matanya jatuh
berderai-derai. Apalagi sebelum kami meletakkan beras itu, kami sudah
terlebih dahulu menaikkan pujian haleluya nomor 458 (bai ganupan
sidalananm in), lagu kesayangan beliau. Suami juga menunduk dalam-dalam,
menahan tangis.
Setelah acara mamborastengeri selesai, saya pun mengambil posisi di depan mereka. Saya menyatukan tangan mereka berdua dan tangan saya menjadi penopangnya. Saya mempersilahkan mereka menaikkan doa kepada Tuhan dengan dasar dari FirmanNYa: mintalah.....maka kamu akan diberikan.(Mat.7:7) Si ibu langsung menjerit menangis histeris. luapan emosi dan tekanan di hati beliau terasa jebol. Saya sendiri yang mendengar doa permohonan beliau, tidak dapat menahan tangis dan haru.
Saya berusaha untuk menetralkan emosi. Bagi
saya menunggu enam tahun bukanlah perkara yang mudah. Kami sendiri yang
menunggu si kecil, selama empat bulan, sudah gelisah dan gamang,
apalagi mereka. Air mata ibu tersebut jatuh berderai-derai. Tanganku
terasa hangat karena beberapa butiran air mata beliau jatuh persih di
tanganku. Saya semakin tidak dapat menahan haru.
Dalam doanya, si ibu
begitu sangat...sangat...dan sangat memohon kiranya Tuhan berkenan
mendengarkan doanya. Beliau memohon ampun kalau selama ini mereka pernah
berbuat dosa. Menyatakan Dia tidak adil dan sebagainya. Segala kutuk
atau sumpah nenek moyang yang tidak mereka tahu hendaknya Tuhan
batalkan.
Setelah melewati doa yang begitu menguras emosi dan iman, saya pun menutup doa saat itu. Dengan tangan yang masih tertopang, kami bersama-sama memohon kemurahan hati Tuhan, kiranya mendengarkan doa kami. Doa pemutusan terhadap segala kutuk atau sumpah dibatalkan melalui darah-Nya yang kudus.
Hujan masih deras turun ketika kami usai berdoa. jam sudah menunjukan pukul 20.15 WIB. Hp di jaket saya sudah bergetar. Tanpa saya lihat, itu pasti si borsin. Pasti dia bertanya-tanya kenapa saya lama sekali pulang, padahal malam sudah larut, hujan pula.
Akhirnya kami permisi pulang. Kami menerobos dinginnya malam dan derasnya hujan. Ada sebuah sukacita di hati yang tidak terperikan, ketika Dia memakai kami untuk saling menguatkan sesama anggota tubuh Kristus. Semogalah tandok yang kami bawa itu, adalah setandok pengharapan dan permohonan dalam perjalanan iman mereka, begitu juga kami.
Semoga juga, semua sahabatku, saudaraku yang membaca tulisan ini, yang mengalami hal yang sama belum menerima momongon, kiranya dikuatkan Tuhan untuk tetap percaya akan janjinya yang tidak akan pernah terlambat. Walau sangat susah untuk mengimani dan menerimanya, biarlah Firman Tuhan tergenapi dalam hidup kita bahwa: Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.(Pkh.3:11). (Pdt Defri Judika Purba STh)
Posting Komentar