Kol (Purn) TNI AU St WM Manihuruk (kanan) didampingi St Bonarsius Saragih SH M Hum saat meninjau keramba milik St WM Manihuruk di Haranggaol Senin 2 Mei 2011. Foto Asenk Lee Saragih.
Kol (Purn) TNI AU St WM Manihuruk (kanan) saat menjelaskan usaha budidaya ikan Nila dan Mas keramba miliknya di Haranggaol Senin 2 Mei 2011. Foto Asenk Lee Saragih.
Keramba Ikan Haranggaol
Kelurahan Haranggaol, Simalungun, Sumatera Utara kini terkenal sebagai sentra produksi ikan air tawar terbesar. Pesatnya usaha perikanan dengan pola keramba (kolam jaring terapung) di daerah pantai itu mampu mendongkrak perekonomian rakyat dan daerah itu. Ribuan unit keramba ikan yang kini memadati pantai Haranggaol. Gambar diambil Senin 2 Mei 2011. Asenk Lee Saragih
Bau menyengat dan tak sedap terasa tajam menusuk hidung ketika memasuki sebuah rumah di deretan permukiman warga Kelurahan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pagi itu. Bau itu bersumber dari ratusan karung pelet (pakan ikan) yang ditumpuk di ruang tamu rumah itu. Namun penghuni rumah, Kolonel (Purn) TNI AU, Drs Warman Manihuruk MM (65), seolah tak risih atau terganggu dengan bau pelet tersebut.
Ketika ditemui SP di rumahnya, Parluasan, Haranggaol baru-baru ini, mantan anggota DPRD Provinsi Lampung era Pemerintahan Presiden Soeharto itu tampak duduk santai di tikar yang terhampar di lantai. Tampaknya putra kelahiran Haranggaol yang “turun gunung” menekuni usaha keramba ikan (kolam jaring terapung) di kampung halaman sudah terbiasa istirahat dan tidur bersama pakan ikan. Maklum sudah hampir satu tahun ayah tiga orang anak tersebut membuka usaha keramba ikan di Haranggaol.
“Kita tak bisa main-main membuka usaha keramba ini. Modal cukup besar. Jadi usaha ini harus benar-benar ditekuni dan diawasi ketat. Karena itu saya tidak segan-segan turun ke lapangan dan tidur bersama pelet yang bau. Kalau dibiarkan orang lain mengelola usaha ini, usaha ini bisa gagal,”katanya.
Investasi atau modal yang ditanam Warman untuk usaha perikanan air tawar tersebut juga tak tanggung-tanggung. Dia sampai menjual rumahnya di Lampung untuk mendanai usaha perikanan di Haranggaol saat ini. Sejak membuka usaha keramba ikan di Haranggaol setahun terakhir, Dia sudah menanamkan modal hampir Rp 250 juta. Modal tersebut mulai dari membuat 36 unit keramba ikan. Biaya membuat satu unit keramba ikan rata-rata Rp 3 juta.
Kemudian membeli bibit ikan nila 8.000 ekor untuk satu unit keramaba. Harga bibit ikan nila Rp 380 per ekor. Selain itu membeli pakan ikan sebanyak 50 sak dengan harga Rp 288.000 per sak. Modal itu masih ditambah gaji pegawai satu orang Rp 1,5 juta sebulan.
Panen Perdana
Warman cukup tergiur menggeluti usaha keramba ikan di kampung halaman setelah melihat suksesnya para perantau membuka usaha keramba ikan di Haranggaol, sekitar 250 Km dari Kota Medan, Sumatera Utara. Ternyata pilihan tersebut tidak salah. Enam bulan terakhir, Warman sudah mulai memetik hasil usahanya.
Pada November - Desember 2010 lalu, Warman yang lama bertugas di Mabes TNI AU Halim Perdanakusumah Jakarta berhasil memanen ikan nila 1,2 ton dari satu unit keramba ikan. Pada panen perdana itu, Dia berhasil memanen ikan nila dari enam keramba. Harga ikan nila saat itu Rp 17.000 per kilogram (Kg). Jadi hasil panen ikan dari satu keramba mencapai Rp 20 juta. Keramba yang sudah panen enam unit.
“Uang yang sudah kita peroleh dari hasil panen perdana tahun lalu mencapai Rp 120 juta. Sebagian modal sudah kembali. Hasil panen kita bersih karena para pedagang yang langsung menjemput hasil panen ke keramba kita,”katanya.
Cerahnya prospek usaha keramba ikan tersebut membuat memutuskan hijrah ke Haranggaol mulai Maret 2011. Dia pun memutuskan meninggalkan profesi dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta yang digeluti setelah memasuki masa pensiun.
“Mulai Maret saya akan lebih lama menetap di Haranggaol. Saya memutuskan tidak memperpanjang lagi tugas saya sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Usaha keramba lebih menjanjikan dibandingkan jedi dosen,”katanya.
Cerita Sukses
Sukses para perantau menggeluti usaha keramba ikan di Haranggaol telah banyak direguk puluhan perantau asal Haranggaol dari Jakarta. Mereka ramai-ramai berusaha keramba ikan di kampung halaman sejak tahun 2000-an setelah komoditas andalan pertanian Haranggaol dan pesisir Danau Toba, bawang merah, baang putih dan pisang punah.
Seorang perantau asal Haranggaol yang pernah bekerja di perusahaan swasta di Karawang, Jawa Barat, yakni Ir Sumardin Sihotang (48). Sumardin sudah hampir 10 tahun menekuni usaha keramba ikan di kampung halamannya, Haranggaol. Saat ini, Sumardin sudah memiliki hampir 100 unit keramba ikan.
Penghasilan Sumardin pun kini mencapai ratusan juta sebulan dari hasil penjualan ikan. Dari hasil usaha keramba ikan tersebut, Sumardin telah mampu membangun rumah permanen, memiliki kendaraan roda empat dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan anak-anaknya juga sampai dimasukkan ke asuransi jiwa berkat melimpahnya hasil usaha keramba ikan.
Menurut Sumardin, dari sekitar 100 unit usaha keramba ikan yang dimilikinya, Dia bisa meraup uang minimal Rp 50 juta sebulan. Kalau panen ikan lebih lima keramba dengan jenis ikan nila dan ikan mas, uang yang diperoleh bisa mencapai Rp 100 juta sebulan.
Ekonomi Rakyat
Pesatnya perkembangan usaha ikan di Haranggaol ternyata semakin mampu membangkitkan ekonomi rakyat di daerah itu. Terpuruknya ekonomi rakyat Haranggaol pasca punahnya bawang dan pisang sejak tahun 2002 kini terbantu dengan kehadiran usaha keramba ikan.
Sebagian besar warga Haranggaol golongan ekonomi lemah yang dulu bertani bawang kini telah mampu memulihkan ekonomi keluarga mereka dari usaha keramba ikan. Kendati mereka membuka usaha keramba ikan dalam jumlah terbatas antara 4 – 10 enam unit, penghasilam reka cukup lumayan.
“Dari usaha 10 unit keramba, saya bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 2 juta sebulan. Penghasilan itu cukup lumayan karena saya mengurus sendiri keramba ikan saya, tidak sampai mengupahkannya pada orang lain,”kata Jarisman Purba.
Lurah Haranggaol, Makdin Saragih (50) mengakui, usaha kermaba ikan mampu menggeliatkan ekonomi Kecamatan Haranggaol – Horisan yang kini berpenduduk 5.000 jiwa. Perekonomian rakyat dareah yang memiliki luas wilayah 30,50 Km tersebut semakin bangkit karena usaha keramba ikan membuka cukup banyak lapangan kerja atau usaha. Misalnya usaha pembuatan keramba, perdagangan bibit dan pakan ikan, oksigen untuk pengiriman ikan dan pengangkutan ikan ke kota.
Usaha perikanan di Haranggaol membutuhkan pasokan pakan ikan atau pelet rata-rata 20 ton per hari. Selain itu itu keramba ikan yang kini mencapai 1.000 unit mampu menampung sekitar 150 orang pekerja. Gaji para pekerja usaha keramba ikan rata-rata Rp 1,5 juta sebulan bersih.
“Usaha lain juga berkembang di Haranggaol di tengah kemajuan usaha keramba ikan. Misalnya usaha wisata bakar ikan, usaha rumah makan dan kedai kopi,”kata Warman.
Kendala
Ketua Petani Ikan Haranggaol, Bresman Purba mengatakan, jumlah warga Haranggaol dan perantau yang menggeluti usaha keramba ikan semakin banyak. Saat ini ada sekitar 300 keluarga yang menekuni keramba ikan di Haranggaol dengan jumlah keramba hampir 1.000 unit. Kemudian kontribusi usaha perikanan terhadap perekonomian rakyat dan daerah juga cukup besar.
Produksi ikan nila dan ikan mas hasil keramba di Haranggaol mencapai 10 – 15 ton per hari dengan nilai transaksi penjualan ikan sekitar Rp 22,5 juta per hari. Berarti hasil penjualan ikan di daerah tersebut mencapai Rp 765 juta per bulan. Kendati kontribusi usaha perikanan pada perekonomian rakyat dan daerah di Haranggaol cukup besar, namun perhatian pemerintah terhadap usaha perikanan tersebut masih kecil.
“Hal itu nampak dari belum ada ketetapan pemerintah mengenai zona perikanan di pantai Haranggaol. Karena itu usaha perikanan dengan pola keramba di Haranggaol hingga kini masih tetap dianggap kurang legal,”katanya.
Para petani dan pengusaha ikan Haranggaol sudah beberapa kali meminta Gubernur Sumatera Utara, Bupati Simalungun dan para wakil rakyat agar serius menetapkan zona perikanan di Haranggaol. Terakhir permintaan disampaikan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daeah (DPD), GR K Hemas dan anggota asal Sumatera Utara, Parlindungan Purba tahun 2010. Namun hingga kini belum ada tanggapan.
“Usaha perikanan air tawar dengan pola keramba di Haranggaol tak bisa lagi dibendung. Persoalannya usaha keramba ikan telah mampu membangkitkan ekonomi rakyat. Saat ini yang kami butuhkan hanya penetapan zona perikanan di pesisir pantai Haranggaol. Hal ini penting agar masyarakat dan perantau tidak ragu mengembangkan usaha perikanan ini,”katanya. [SP/Radesman Saragih]
Warga Haranggaol Tolak Relokasi Keramba
Sementara itu ratusan keramba ikan di Haranggaol Kecamatan Purba direncana akan direlokasi. Namun mendapat penolakan oleh ratusan pengusaha. Karena mereka menilai tibdakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun sangat arogan hingga mengarah pada monopoli bisnis.
Salah seorang pengusaha keramba, Riskon Saragih, mengatakan saat ini jumlah pengusaha keramba ikan di Haranggaol sebanyak 361 kepala keluarga (KK), dengan jumlah 4.600 kerambah. sebelumnya Bupati Simalungun sudah meninjau lokasi keramba di pinggiran pantai Haranggaol dan menyampaikan akan melakukan penataan.
"Saya sendiri memiliki 12 kerambah ikan jenis nila. Dimana ukuran satu kerambah 4 x 4 meter dengan modal Rp5,5 juta. Untuk satu kerambah bisa menampung lima ribu ekor ikan nila dengan produksi mencapai 1,5 ton dengan harga jual 17.500 per kilogram," kata Riskon, siang ini.
Dia menyebutkan, pendapatan bersih satu kerambah bisa mencapai Rp7 juta setiap lima bulan. Sementara modal pangan ikan sampai di produksi sebanyak 50 sak pelet dengan harga satu sak Rp230 ribu dan bibit ikan Rp 300 per ekor. Rikson mengaku sudah sejak tahun 2000 beralih ke usaha ikan kerambah dan menjadi penghasilan utamanya.
Jakson Purba, pengusaha kerambah ikan mas, mengaku memiliki 15 kerambah, dan bisa menghasilan keuntungan bersih Rp18 juta untuk satu kerambah. Dijelaskan, satu kerambah bisa menampung 8 ribu ekor ikan mas, namun produksinya lebih lama, yakni enam bulan.
Sedangkan pangan satu sak pelet untuk ikan mas membutuhkan biaya Rp 300 ribu dengan kebutuhan 60 sak sampai panen. Dia juga mengaku, para pengusaha ikan kerambah di Haranggaol menolak rencana relokasi itu. Meskipun Bupati Simalungun sudah menyatakan akan merelokasi kerambah ikan karena mengganggu keindahan pantai Haranggaol ke tempat lain.
Rencana relokasi kerambah ikan itu mendapat dukungan dari anggota DPRD Simalungun, Johalim Purba, menegaskan bukan penataan. Ketua Komisi IV ini berpendapat, pantai Haranggaol kondisinya sangat kumuh dan kelihatan jorok, sehingga perlu direlokasi ke tempat yang lebih jauh.
Politisi dari Partai Demokrasi Pembaharuan ini mengatakan, ini bertujuan agar tidak mengganggu keindahan pantai Haranggaol yang terletak di kawasan Danau Toba. “Pemkab bukan melarang tapi berusaha mengembalikan citra Pantai Haranggaol seperti sediakala,” ujarnya.
Johali mengatakan, penatan tidak ada kaitannya dengan monopoli bisnis. Justru relokasi tersebut semata-mata untuk pemngembalian panorama pantai Haranggaol. Soal usaha asing tersebut, Pemkab Simalungun tidak ada kaitannya karena terletak di zona Kabupaten Samosir. (Berbagai Sumber/Asenk Lee Saragih)
Saya ketika meninjau Keramba St WM Manihuruk/br Haloho Senin 2 Mei 2011.
Kol (Purn) TNI AU St WM Manihuruk (kanan) didampingi St Bonarsius Saragih SH M Hum saat meninjau keramba milik St WM Manihuruk di Haranggaol Senin 2 Mei 2011. Foto Asenk Lee Saragih.
Kol (Purn) TNI AU St WM Manihuruk (kanan) saat menjelaskan usaha budidaya ikan Nila dan Mas keramba miliknya di Haranggaol Senin 2 Mei 2011. Foto Asenk Lee Saragih.
Keramba Ikan Haranggaol
Kelurahan Haranggaol, Simalungun, Sumatera Utara kini terkenal sebagai sentra produksi ikan air tawar terbesar. Pesatnya usaha perikanan dengan pola keramba (kolam jaring terapung) di daerah pantai itu mampu mendongkrak perekonomian rakyat dan daerah itu. Ribuan unit keramba ikan yang kini memadati pantai Haranggaol. Gambar diambil Senin 2 Mei 2011. Asenk Lee Saragih
Bau menyengat dan tak sedap terasa tajam menusuk hidung ketika memasuki sebuah rumah di deretan permukiman warga Kelurahan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pagi itu. Bau itu bersumber dari ratusan karung pelet (pakan ikan) yang ditumpuk di ruang tamu rumah itu. Namun penghuni rumah, Kolonel (Purn) TNI AU, Drs Warman Manihuruk MM (65), seolah tak risih atau terganggu dengan bau pelet tersebut.
Ketika ditemui SP di rumahnya, Parluasan, Haranggaol baru-baru ini, mantan anggota DPRD Provinsi Lampung era Pemerintahan Presiden Soeharto itu tampak duduk santai di tikar yang terhampar di lantai. Tampaknya putra kelahiran Haranggaol yang “turun gunung” menekuni usaha keramba ikan (kolam jaring terapung) di kampung halaman sudah terbiasa istirahat dan tidur bersama pakan ikan. Maklum sudah hampir satu tahun ayah tiga orang anak tersebut membuka usaha keramba ikan di Haranggaol.
“Kita tak bisa main-main membuka usaha keramba ini. Modal cukup besar. Jadi usaha ini harus benar-benar ditekuni dan diawasi ketat. Karena itu saya tidak segan-segan turun ke lapangan dan tidur bersama pelet yang bau. Kalau dibiarkan orang lain mengelola usaha ini, usaha ini bisa gagal,”katanya.
Investasi atau modal yang ditanam Warman untuk usaha perikanan air tawar tersebut juga tak tanggung-tanggung. Dia sampai menjual rumahnya di Lampung untuk mendanai usaha perikanan di Haranggaol saat ini. Sejak membuka usaha keramba ikan di Haranggaol setahun terakhir, Dia sudah menanamkan modal hampir Rp 250 juta. Modal tersebut mulai dari membuat 36 unit keramba ikan. Biaya membuat satu unit keramba ikan rata-rata Rp 3 juta.
Kemudian membeli bibit ikan nila 8.000 ekor untuk satu unit keramaba. Harga bibit ikan nila Rp 380 per ekor. Selain itu membeli pakan ikan sebanyak 50 sak dengan harga Rp 288.000 per sak. Modal itu masih ditambah gaji pegawai satu orang Rp 1,5 juta sebulan.
Panen Perdana
Warman cukup tergiur menggeluti usaha keramba ikan di kampung halaman setelah melihat suksesnya para perantau membuka usaha keramba ikan di Haranggaol, sekitar 250 Km dari Kota Medan, Sumatera Utara. Ternyata pilihan tersebut tidak salah. Enam bulan terakhir, Warman sudah mulai memetik hasil usahanya.
Pada November - Desember 2010 lalu, Warman yang lama bertugas di Mabes TNI AU Halim Perdanakusumah Jakarta berhasil memanen ikan nila 1,2 ton dari satu unit keramba ikan. Pada panen perdana itu, Dia berhasil memanen ikan nila dari enam keramba. Harga ikan nila saat itu Rp 17.000 per kilogram (Kg). Jadi hasil panen ikan dari satu keramba mencapai Rp 20 juta. Keramba yang sudah panen enam unit.
“Uang yang sudah kita peroleh dari hasil panen perdana tahun lalu mencapai Rp 120 juta. Sebagian modal sudah kembali. Hasil panen kita bersih karena para pedagang yang langsung menjemput hasil panen ke keramba kita,”katanya.
Cerahnya prospek usaha keramba ikan tersebut membuat memutuskan hijrah ke Haranggaol mulai Maret 2011. Dia pun memutuskan meninggalkan profesi dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta yang digeluti setelah memasuki masa pensiun.
“Mulai Maret saya akan lebih lama menetap di Haranggaol. Saya memutuskan tidak memperpanjang lagi tugas saya sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Usaha keramba lebih menjanjikan dibandingkan jedi dosen,”katanya.
Cerita Sukses
Sukses para perantau menggeluti usaha keramba ikan di Haranggaol telah banyak direguk puluhan perantau asal Haranggaol dari Jakarta. Mereka ramai-ramai berusaha keramba ikan di kampung halaman sejak tahun 2000-an setelah komoditas andalan pertanian Haranggaol dan pesisir Danau Toba, bawang merah, baang putih dan pisang punah.
Seorang perantau asal Haranggaol yang pernah bekerja di perusahaan swasta di Karawang, Jawa Barat, yakni Ir Sumardin Sihotang (48). Sumardin sudah hampir 10 tahun menekuni usaha keramba ikan di kampung halamannya, Haranggaol. Saat ini, Sumardin sudah memiliki hampir 100 unit keramba ikan.
Penghasilan Sumardin pun kini mencapai ratusan juta sebulan dari hasil penjualan ikan. Dari hasil usaha keramba ikan tersebut, Sumardin telah mampu membangun rumah permanen, memiliki kendaraan roda empat dan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan anak-anaknya juga sampai dimasukkan ke asuransi jiwa berkat melimpahnya hasil usaha keramba ikan.
Menurut Sumardin, dari sekitar 100 unit usaha keramba ikan yang dimilikinya, Dia bisa meraup uang minimal Rp 50 juta sebulan. Kalau panen ikan lebih lima keramba dengan jenis ikan nila dan ikan mas, uang yang diperoleh bisa mencapai Rp 100 juta sebulan.
Ekonomi Rakyat
Pesatnya perkembangan usaha ikan di Haranggaol ternyata semakin mampu membangkitkan ekonomi rakyat di daerah itu. Terpuruknya ekonomi rakyat Haranggaol pasca punahnya bawang dan pisang sejak tahun 2002 kini terbantu dengan kehadiran usaha keramba ikan.
Sebagian besar warga Haranggaol golongan ekonomi lemah yang dulu bertani bawang kini telah mampu memulihkan ekonomi keluarga mereka dari usaha keramba ikan. Kendati mereka membuka usaha keramba ikan dalam jumlah terbatas antara 4 – 10 enam unit, penghasilam reka cukup lumayan.
“Dari usaha 10 unit keramba, saya bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 2 juta sebulan. Penghasilan itu cukup lumayan karena saya mengurus sendiri keramba ikan saya, tidak sampai mengupahkannya pada orang lain,”kata Jarisman Purba.
Lurah Haranggaol, Makdin Saragih (50) mengakui, usaha kermaba ikan mampu menggeliatkan ekonomi Kecamatan Haranggaol – Horisan yang kini berpenduduk 5.000 jiwa. Perekonomian rakyat dareah yang memiliki luas wilayah 30,50 Km tersebut semakin bangkit karena usaha keramba ikan membuka cukup banyak lapangan kerja atau usaha. Misalnya usaha pembuatan keramba, perdagangan bibit dan pakan ikan, oksigen untuk pengiriman ikan dan pengangkutan ikan ke kota.
Usaha perikanan di Haranggaol membutuhkan pasokan pakan ikan atau pelet rata-rata 20 ton per hari. Selain itu itu keramba ikan yang kini mencapai 1.000 unit mampu menampung sekitar 150 orang pekerja. Gaji para pekerja usaha keramba ikan rata-rata Rp 1,5 juta sebulan bersih.
“Usaha lain juga berkembang di Haranggaol di tengah kemajuan usaha keramba ikan. Misalnya usaha wisata bakar ikan, usaha rumah makan dan kedai kopi,”kata Warman.
Kendala
Ketua Petani Ikan Haranggaol, Bresman Purba mengatakan, jumlah warga Haranggaol dan perantau yang menggeluti usaha keramba ikan semakin banyak. Saat ini ada sekitar 300 keluarga yang menekuni keramba ikan di Haranggaol dengan jumlah keramba hampir 1.000 unit. Kemudian kontribusi usaha perikanan terhadap perekonomian rakyat dan daerah juga cukup besar.
Produksi ikan nila dan ikan mas hasil keramba di Haranggaol mencapai 10 – 15 ton per hari dengan nilai transaksi penjualan ikan sekitar Rp 22,5 juta per hari. Berarti hasil penjualan ikan di daerah tersebut mencapai Rp 765 juta per bulan. Kendati kontribusi usaha perikanan pada perekonomian rakyat dan daerah di Haranggaol cukup besar, namun perhatian pemerintah terhadap usaha perikanan tersebut masih kecil.
“Hal itu nampak dari belum ada ketetapan pemerintah mengenai zona perikanan di pantai Haranggaol. Karena itu usaha perikanan dengan pola keramba di Haranggaol hingga kini masih tetap dianggap kurang legal,”katanya.
Para petani dan pengusaha ikan Haranggaol sudah beberapa kali meminta Gubernur Sumatera Utara, Bupati Simalungun dan para wakil rakyat agar serius menetapkan zona perikanan di Haranggaol. Terakhir permintaan disampaikan kepada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daeah (DPD), GR K Hemas dan anggota asal Sumatera Utara, Parlindungan Purba tahun 2010. Namun hingga kini belum ada tanggapan.
“Usaha perikanan air tawar dengan pola keramba di Haranggaol tak bisa lagi dibendung. Persoalannya usaha keramba ikan telah mampu membangkitkan ekonomi rakyat. Saat ini yang kami butuhkan hanya penetapan zona perikanan di pesisir pantai Haranggaol. Hal ini penting agar masyarakat dan perantau tidak ragu mengembangkan usaha perikanan ini,”katanya. [SP/Radesman Saragih]
Warga Haranggaol Tolak Relokasi Keramba
Sementara itu ratusan keramba ikan di Haranggaol Kecamatan Purba direncana akan direlokasi. Namun mendapat penolakan oleh ratusan pengusaha. Karena mereka menilai tibdakan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun sangat arogan hingga mengarah pada monopoli bisnis.
Salah seorang pengusaha keramba, Riskon Saragih, mengatakan saat ini jumlah pengusaha keramba ikan di Haranggaol sebanyak 361 kepala keluarga (KK), dengan jumlah 4.600 kerambah. sebelumnya Bupati Simalungun sudah meninjau lokasi keramba di pinggiran pantai Haranggaol dan menyampaikan akan melakukan penataan.
"Saya sendiri memiliki 12 kerambah ikan jenis nila. Dimana ukuran satu kerambah 4 x 4 meter dengan modal Rp5,5 juta. Untuk satu kerambah bisa menampung lima ribu ekor ikan nila dengan produksi mencapai 1,5 ton dengan harga jual 17.500 per kilogram," kata Riskon, siang ini.
Dia menyebutkan, pendapatan bersih satu kerambah bisa mencapai Rp7 juta setiap lima bulan. Sementara modal pangan ikan sampai di produksi sebanyak 50 sak pelet dengan harga satu sak Rp230 ribu dan bibit ikan Rp 300 per ekor. Rikson mengaku sudah sejak tahun 2000 beralih ke usaha ikan kerambah dan menjadi penghasilan utamanya.
Jakson Purba, pengusaha kerambah ikan mas, mengaku memiliki 15 kerambah, dan bisa menghasilan keuntungan bersih Rp18 juta untuk satu kerambah. Dijelaskan, satu kerambah bisa menampung 8 ribu ekor ikan mas, namun produksinya lebih lama, yakni enam bulan.
Sedangkan pangan satu sak pelet untuk ikan mas membutuhkan biaya Rp 300 ribu dengan kebutuhan 60 sak sampai panen. Dia juga mengaku, para pengusaha ikan kerambah di Haranggaol menolak rencana relokasi itu. Meskipun Bupati Simalungun sudah menyatakan akan merelokasi kerambah ikan karena mengganggu keindahan pantai Haranggaol ke tempat lain.
Rencana relokasi kerambah ikan itu mendapat dukungan dari anggota DPRD Simalungun, Johalim Purba, menegaskan bukan penataan. Ketua Komisi IV ini berpendapat, pantai Haranggaol kondisinya sangat kumuh dan kelihatan jorok, sehingga perlu direlokasi ke tempat yang lebih jauh.
Politisi dari Partai Demokrasi Pembaharuan ini mengatakan, ini bertujuan agar tidak mengganggu keindahan pantai Haranggaol yang terletak di kawasan Danau Toba. “Pemkab bukan melarang tapi berusaha mengembalikan citra Pantai Haranggaol seperti sediakala,” ujarnya.
Johali mengatakan, penatan tidak ada kaitannya dengan monopoli bisnis. Justru relokasi tersebut semata-mata untuk pemngembalian panorama pantai Haranggaol. Soal usaha asing tersebut, Pemkab Simalungun tidak ada kaitannya karena terletak di zona Kabupaten Samosir. (Berbagai Sumber/Asenk Lee Saragih)
Saya ketika meninjau Keramba St WM Manihuruk/br Haloho Senin 2 Mei 2011.
Kol (Purn) TNI AU St WM Manihuruk (kanan) didampingi St Bonarsius Saragih SH M Hum saat meninjau keramba milik St WM Manihuruk di Haranggaol Senin 2 Mei 2011. Foto Asenk Lee Saragih.
Posting Komentar