Oleh: Pdt Rawalfen Saragih
Sahalak juak-juak atap hamba Tuhan dipanggil untuk melayani. Namun, sering kali pelayanan ini terlihat sangat mulia di luar, di hadapan jemaat, sementara di dalam rumah, sebuah bayangan gelap menghantui keluarga.
"Horahan itoruhni sappuran" — rasa kehausan di samping mata air — begitu sering terdengar di antara keluarga-keluarga hamba Tuhan. Ini adalah gambaran tragis tentang bagaimana keluarga, yang seharusnya menjadi tempat kasih dan perhatian pertama, sering kali terabaikan.
Kita, para hamba Tuhan, dipanggil untuk menghidupi firman-Nya tidak hanya di dalam mimbar, tetapi juga di meja makan, di ruang keluarga, dan di setiap sudut rumah.
Dalam Injil, Yesus tidak hanya mengajar di sinagoge, tetapi juga di jalanan, di rumah-rumah, di hadapan orang-orang terdekat-Nya. Dia menunjukkan bahwa pelayanan tidak terbatas pada ruang ibadah, melainkan juga dalam relasi paling pribadi: dengan keluarga dan orang-orang terkasih.
Mengapa Kita Lupa?
Ada banyak alasan mengapa seorang hamba Tuhan bisa menjadi "serigala" di rumahnya sendiri. Salah satu alasan utama adalah kelelahan. Setelah seharian berurusan dengan berbagai masalah jemaat, mulai dari konseling hingga persiapan khotbah, seorang hamba Tuhan bisa pulang dalam kondisi fisik dan mental yang terkuras.
Di sinilah letak bahaya besar: kita sering menganggap bahwa keluarga kita akan selalu ada dan mengerti. "Mereka pasti paham bahwa aku sedang lelah," pikir kita. Namun, anak-anak kita, pasangan kita, mereka juga membutuhkan perhatian, kasih, dan energi yang sama.
Ketika kita merasa telah memberikan semua kebaikan di luar sana, apa yang tersisa untuk keluarga di rumah? Kita sering kali lupa bahwa pelayanan kita kepada Tuhan tidak hanya terwujud dalam kebaktian, tetapi juga dalam setiap sikap kita terhadap istri, suami, dan anak-anak. Kita adalah representasi kasih Tuhan, dan mereka, keluarga kita, adalah jemaat pertama yang kita layani.
Panggilan yang Pertama: Keluarga
Alkitab dengan jelas mengajarkan kita tentang pentingnya merawat keluarga. Dalam 1 Timotius 3:4-5, Paulus menekankan bahwa seorang pemimpin rohani harus mampu memimpin keluarganya dengan baik. Bagaimana mungkin kita bisa melayani jemaat dengan hati yang tulus jika kita gagal melayani rumah kita sendiri?
Keluarga adalah ladang pelayanan yang pertama dan utama. Mereka adalah cerminan dari bagaimana kita benar-benar menghidupi kasih Tuhan. Jika kita mengabaikan keluarga kita, bagaimana kita bisa menjadi teladan di hadapan jemaat?
Sikap merendah yang salah tempat
Ironisnya, banyak di antara kita yang merendahkan kebutuhan keluarga sendiri dengan alasan pelayanan. Kita mungkin merasa bahwa pekerjaan di luar rumah, di ladang misi atau di gereja, lebih penting. Tapi apakah benar demikian? Tuhan tidak memanggil kita untuk mengorbankan keluarga demi jemaat. Sebaliknya, Tuhan menginginkan kita untuk melayani keluarga kita dengan sepenuh hati, menjadikan mereka prioritas.
Rasul Paulus menulis dalam Efesus 5:25, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat.” Kasih yang Kristus tunjukkan kepada jemaat-Nya adalah kasih yang tanpa syarat, penuh pengorbanan, namun juga dipenuhi dengan perhatian yang lembut. Demikian juga kita, sebagai hamba Tuhan, dipanggil untuk memperlakukan keluarga kita dengan kasih yang sama.
Membangun kembali Rumah Bahagia
Ketika seorang hamba Tuhan melayani dari hati yang penuh dengan kasih dan kebahagiaan di rumah, pelayanan di luar pun akan lebih tulus dan mendalam. Kita sering lupa bahwa kekuatan pelayanan di luar sangat bergantung pada kondisi batin kita di dalam. Jika rumah kita penuh dengan damai, kasih, dan sukacita, maka itu akan terpancar dalam setiap tindakan kita di luar rumah.
Mari kita mulai merangkul kembali keluarga kita. Luangkan waktu untuk mendengarkan keluhan istri atau suami, bermain dengan anak-anak, dan menunjukkan kasih yang sama yang kita tunjukkan kepada jemaat. Jadikan rumah sebagai pusat dari semua pelayanan kita, tempat di mana kita mengisi kembali kekuatan rohani sebelum kita pergi melayani di luar.
Bertobat dan Menghidupi Kasih
Kita perlu bertobat dari sikap yang mengabaikan keluarga. Kesuksesan dalam pelayanan tidak diukur dari berapa banyak jemaat yang kita pimpin atau berapa banyak proyek yang kita selesaikan. Kesuksesan sejati adalah bagaimana kita mencerminkan kasih Kristus di dalam rumah kita sendiri.
Mungkin kita merasa sudah terlalu sibuk dan terlalu lelah, tapi ingatlah, Tuhan yang kita layani adalah sumber kekuatan yang tak terbatas. Dia yang memanggil kita untuk melayani juga memberi kita kemampuan untuk mencintai dengan sepenuh hati, baik di dalam rumah maupun di luar.
Mari kita meminta kekuatan dari Tuhan, untuk selalu mengingat bahwa keluarga kita adalah jemaat pertama yang perlu kita layani dengan setia. Dengan keluarga yang diberkati, pelayanan kita akan menjadi lebih bermakna, lebih kuat, dan lebih penuh dengan kasih.
Penutup: Kasih yang Mencakup Semuanya
Pada akhirnya, menjadi hamba Tuhan songon hita on, berarti meneladani Kristus dalam segala hal, termasuk dalam hubungan kita dengan keluarga. Jangan biarkan keluarga kita merasa seperti “Horahan itoruh ni sappuran”.Jadilah mata air kasih yang terus mengalir, baik di rumah maupun di gereja.
Sebagai hamba Tuhan, marilah kita selalu mengingat bahwa Tuhan memanggil kita untuk melayani dengan kasih yang tulus dan penuh pengorbanan — bukan hanya kepada jemaat, tetapi juga kepada orang-orang yang paling dekat dengan kita. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi pelayan yang setia di gereja, tetapi juga menjadi pelayan yang penuh kasih di rumah kita sendiri.
Dan dari rumah yang bahagia, kita akan pergi melayani dengan hati yang utuh, dipenuhi oleh kasih yang melimpah dari Sang Sumber Segala Kasih. (***)
Posting Komentar